Upacara Teh Oda Nobunaga: Sisi Kebudayaan Tak Terduga dari Seorang Panglima Perang

Upacara Teh Oda Nobunaga: Sisi Kebudayaan Tak Terduga dari Seorang Panglima Perang

Ketika kita mendengar nama Oda Nobunaga, panglima perang yang kuat dari periode Sengoku di Jepang, banyak di antara kita yang membayangkan seorang pemimpin militer inovatif yang berusaha menyatukan Jepang di bawah semboyan “Tenka Fubu” (Seluruh dunia dengan kekuatan senjata), dengan memanfaatkan senjata api dalam penaklukannya. Namun, Nobunaga memiliki sisi yang mengejutkan halus dan lembut: ia adalah pencinta upacara teh, mengangkat praktik budaya ini ke tingkat kebijakan.

Sebuah potret Oda Nobunaga, diyakini dilukis oleh sekolah Kano. Ekspresinya yang anggun mengungkapkan sekilas tentang penyempurnaannya sebagai orang yang mencintai kebudayaan. Potret ini secara terampil menangkap karakter Nobunaga yang beragam.

Sebuah potret Oda Nobunaga, diyakini dilukis oleh sekolah Kano. Ekspresinya yang anggun mengungkapkan sekilas tentang penyempurnaannya sebagai orang yang mencintai kebudayaan. Potret ini secara terampil menangkap karakter Nobunaga yang beragam. Oleh Kanō Sōshū (1551 – 1601)

Pertemuan Nobunaga dengan Teh

Pertemuan Oda Nobunaga dengan upacara teh terjadi di masa mudanya. Lahir dan dibesarkan di Provinsi Owari (sekarang Prefektur Aichi bagian barat), sebuah daerah yang terkenal dengan produksi teh dan memiliki budaya teh yang telah lama ada, Nobunaga terpapar dengan tradisi ini sejak usia dini. Klan Oda, yang memerintah Owari, memiliki sejarah mempraktikkan upacara teh, dan ayah Nobunaga, Nobuhide, dikenal sebagai penggemar teh.

Nobunaga mulai serius terlibat dengan upacara teh di usia dua puluhan. Pada saat ini, saat ia mulai menandai dirinya sebagai pemimpin militer, ia juga mengembangkan kepekaan budayanya. Ia terutama menghormati Takeno Jōō, seorang ahli teh terkenal pada masa itu, sebagai gurunya dalam seni teh.

Jōō dikenal sebagai pendiri “wabi-cha,” yang menganjurkan upacara teh yang sederhana dan asketis. Filsafat ini membawa perspektif baru ke dunia upacara teh, yang sebelumnya cenderung berlebih-lebihan. Nobunaga mempelajari semangat teh dari Jōō dan menginternalisasi ajaran-ajaran tersebut dengan mendalam.

Pertemuan Teh Bersama Nobunaga

Pertemuan teh yang diadakan oleh Nobunaga sangat luar biasa dalam skala dan isinya. Yang paling terkenal adalah “Kitano Ōchakai” (Pertemuan Teh Besar Kitano) yang diadakan di kuil Myōkaku-ji di Kyoto pada tahun 1568. Pertemuan teh ini diatur tak lama setelah masuknya Nobunaga ke Kyoto dan memiliki niat politik.

Kuil Kitano Tenmangu. Situs di mana Nobunaga mengadakan 'Kitano Ōchakai' (Pertemuan Teh Besar Kitano) yang terkenal.

Kuil Kitano Tenmangu. Situs di mana Nobunaga mengadakan ‘Kitano Ōchakai’ (Pertemuan Teh Besar Kitano) yang terkenal. 663highland, CC BY-SA 3.0

Kitano Ōchakai dihadiri oleh orang-orang dari semua lapisan masyarakat, termasuk samurai, bangsawan istana, pedagang, dan biksu, tanpa memandang status sosial. Nobunaga tidak mendirikan ruang teh sendiri melainkan memungkinkan semua peserta untuk bebas menyiapkan teh. Ini adalah inisiatif revolusioner untuk waktu ketika sistem kelas sangat ketat.

Menurut “Shinchō-kōki,” sebuah kronik kehidupan Nobunaga, lebih dari 800 ruang teh didirikan di tempat tersebut, dan acara tersebut diadakan dengan megah selama sepuluh hari. Kabarnya, Nobunaga sendiri menyiapkan dan menyajikan teh, dan juga mengunjungi ruang teh peserta lain untuk menikmati teh mereka.

Tujuan sebenarnya dari pertemuan teh ini adalah untuk menunjukkan penyempurnaan budaya Nobunaga sambil menciptakan ruang untuk interaksi yang melampaui status sosial. Melalui upacara teh, Nobunaga menunjukkan toleransi dan semangat progresifnya, bertujuan untuk memenangkan hati orang-orang Kyoto, di mana ia baru saja menjadi penguasa.

Upacara Teh sebagai Kebijakan Budaya

Berbagai perangkat upacara teh. Nobunaga terutama menilai tinggi mangkuk teh Raku, mengangkat nilai perangkat teh.

Berbagai perangkat upacara teh. Nobunaga terutama menilai tinggi mangkuk teh Raku, mengangkat nilai perangkat teh. Foto ini menunjukkan mangkuk teh Seto-Karatsu (Seto, Kato Shundai, akhir periode Edo), wadah teh “Sanin” (Toyama, periode Edo), ketel poros hitam (Seto, Takashima Tokumaru (generasi ke-2), periode Taisho), dan guci air Mogake Zuito (Tokoname, Sanko (generasi ke-1/Matsushita Tsunezo), akhir periode Edo)

Nobunaga menggunakan upacara teh bukan hanya sebagai hobi tetapi sebagai bagian dari kebijakannya. Melalui upacara teh, ia bertujuan untuk mempromosikan kebudayaan dan merangsang perekonomian.

Pertama, Nobunaga meningkatkan nilai perangkat teh. Sementara perangkat teh dari China dan Semenanjung Korea sudah mahal pada saat itu, Nobunaga lebih menghargainya. Ia terutama menyukai Chōjirō, pencipta mangkuk teh Raku, yang dengan terkenal memberi karyanya gelar “Meibutsu” (objek terkenal).

Ini semakin meningkatkan nilai perangkat teh, menciptakan nilai ekonomi baru dalam dunia upacara teh. Selain itu, Nobunaga melindungi ahli teh dan mendorong aktivitas mereka. Ini menunjukkan sikapnya yang menghargai tokoh budaya sekaligus berfungsi untuk mengumpulkan informasi dan membentuk koneksi melalui upacara teh.

Selain itu, Nobunaga berusaha dalam produksi teh. Ia terutama mendorong produksi teh Uji dan berupaya meningkatkan kualitasnya. Kebijakan ini tidak hanya meningkatkan produksi teh tetapi juga berkontribusi terhadap peningkatan keseluruhan budaya teh Jepang.

Diplomasi Melalui Upacara Teh

Nobunaga juga memanfaatkan upacara teh sebagai alat diplomasi. Ini memainkan peran yang sangat penting dalam interaksi dengan misionaris Kristen.

Pada 1569, ketika Nobunaga bertemu dengan misionaris Portugis Luis Frois, ia mengadakan upacara teh. Menurut catatan Frois, Nobunaga menyiapkan dan menyajikan teh sendiri, memperkenalkan kebudayaan Jepang kepada misionaris tersebut.

Ini bukanlah sekadar keramahan. Melalui budaya Jepang yang unik dari upacara teh, Nobunaga berusaha membangun hubungan yang setara dengan Barat. Pada saat yang sama, ia mungkin bertujuan untuk memperoleh barang dan informasi Barat melalui para misionaris.

Insiden Honnō-ji dan Perangkat Teh

Pada tanggal 2 Juni 1582, Nobunaga mengakhiri hidupnya di kuil Honnō-ji akibat pemberontakan Akechi Mitsuhide. Bahkan di saat terakhir ini, dikatakan bahwa ia tidak bisa melepaskan keterikatan pada perangkat tehnya.

Menurut “Shinchō-kōki,” ketika Honnō-ji dibakar, Nobunaga pertama kali mencoba melindungi perangkat teh berharga miliknya. Khususnya, menggambarkannya mencoba melindungi wadah teh kesayangannya yang disebut “Katatsuki.”

Perilaku ini mungkin tampak tidak dapat dipahami pada pandangan pertama. Namun, bagi Nobunaga, perangkat teh memiliki makna melebihi sekadar alat. Mereka melambangkan sisi budayanya dan juga merupakan simbol kekuatan politiknya.

Perhatian Nobunaga terhadap perangkat tehnya bahkan di saat-saat terakhirnya menunjukkan keterikatannya yang mendalam pada upacara teh dan kuatnya komitmennya terhadap kebijakan budaya.

Cetakan era Meiji yang menggambarkan Insiden Honnō-ji. Ini menunjukkan Nobunaga menemui ajalnya di kuil Honnō-ji. Menurut legenda, bahkan pada saat ini, Nobunaga menolak melepaskan perangkat teh kesayangannya. Cetakan ini secara simbolis mengekspresikan dualitas Nobunaga sebagai panglima perang dan orang yang mencintai kebudayaan yang mencintai upacara teh.

Cetakan era Meiji yang menggambarkan Insiden Honnō-ji. Ini menunjukkan Nobunaga menemui ajalnya di kuil Honnō-ji. Menurut legenda, bahkan pada saat ini, Nobunaga menolak melepaskan perangkat teh kesayangannya. Cetakan ini secara simbolis mengekspresikan dualitas Nobunaga sebagai panglima perang dan orang yang mencintai kebudayaan yang mencintai upacara teh. Oleh Nobukazu Yōsai

Pengaruh Berkepanjangan dari Upacara Teh Nobunaga

Keterlibatan Oda Nobunaga dengan upacara teh memiliki dampak yang signifikan terhadap kebudayaan Jepang selanjutnya.

Pertama, gaya pertemuan teh Nobunaga membawa perspektif baru ke dunia upacara teh. Pertemuan teh sebagai tempat untuk interaksi yang melampaui status sosial menghasilkan perkembangan “budaya ruang teh” yang kemudian dikenal sebagai “Chonin no Sansai” (liburan perkotaan).

Selain itu, kebijakan budaya Nobunaga mengangkat upacara teh melebihi sekadar hobi menjadi sesuatu yang bernilai sosial dan ekonomi. Akibatnya, upacara teh menjadi bagian inti dari budaya samurai dan memainkan peran besar dalam membentuk kebudayaan Jepang selanjutnya.

Lebih jauh, sikap Nobunaga terhadap upacara teh diwarisi oleh para penerusnya. Baik Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu adalah penggemar teh dan mengembangkan budaya upacara teh dengan cara mereka sendiri. “Kitano Ōchakai” Hideyoshi secara khusus dikenal sebagai peniruan dari pertemuan teh Nobunaga.

Kesimpulan

Pertemuan teh dan kebijakan budaya Oda Nobunaga secara jelas mencerminkan karakternya yang beragam. Perpaduan antara inovasinya sebagai pemimpin militer dan kehalusannya sebagai orang yang mencintai kebudayaan menunjukkan arah baru bagi kebudayaan Jepang di periode Sengoku yang penuh gejolak.

Pendekatan Nobunaga dalam mempromosikan interaksi yang melampaui status sosial melalui upacara teh dan bertujuan untuk pengembangan budaya dan ekonomi bukanlah sekadar antusiasme. Itu adalah pendekatan seorang pemimpin visioner yang memahami kekuatan kebudayaan dan memanfaatkannya dalam politik.

Meskipun Nobunaga mencari kesatuan melalui kekuatan militer di bawah panji “Tenka Fubu,” aspek budaya yang ia tunjukkan menjadi fondasi bagi kebudayaan Jepang berikutnya. Pertemuan teh Oda Nobunaga adalah peristiwa penting yang menaburkan benih perdamaian dan kebudayaan di dunia perang.